Energi Untuk Indonesia: Sebuah Narasi

Indonesia, menurut jurnal akademik yang terpublikasi tahun 1987, disebut sebagai negara dengan surplus minyak sebanyak 400.000 barel per hari. Produksi minyak pada tahun-tahun sebelum dilaksanakannya penelitian tersebut dilaporkan sebesar 1,7 juta barel per hari dimana estimasi total pengeluaran harian pada waktu itu adalah sebesar 1,3 juta barel (Sadli, 1987). Tapi, itu cerita puluhan tahun silam. Saat ini, cerita telah berganti episode.

Artikel yang diterbitkan oleh Economic Times pada April 2020 lalu mengungkap bahwa jika pandemi yang pertama kali diidentifikasi dengan istilah SARS-CoV-2 (severe acute respiratory syndrome coronavirus-2) atau nCov-2 (novel coronavirus) dan belakangan diperkenalkan lagi dengan istilah Covid-19 (coronavirus disease 2019) berkembang menjadi krisis keuangan, maka pengurangan daya saing energi terbarukan akan menjadi resiko terlogis yang harus ditanggung. Tidak perlu bertanya siapa yang akan menanggung dampaknya karena nalar logis semua manusia yang berpikir tentu bisa menebaknya secara akurat.

Wabah yang masih sedang bergentayangan saat ini memang menambah PR para pelaku sektor energi dunia - baik secara kuantitas maupun kualitas. Namun tidak berarti bahwa jika wabah tidak menyerang maka energi dunia akan baik-baik saja. Pernyataan tersebut tersurat secara eksplisit dalam bab berjudul “The Asia Pacific Energy Dilemma” yang disumbang oleh Wu, Brown, dan Siddiqi dalam buku berjudul “Asia's energy future: regional dynamics and global implications” (2007) yang menjelaskan bahwa negara-negara dalam regional Asia Pasifik membutuhkan konsumsi energi enam kali lebih besar para rentang tahun 1965 hingga 2005. Fakta tersebut menekankan bahwa negara-negara yang berada dalam kawasan Asia Pasifik harus menyiasati masalah itu dengan melakukan net import (impor tanpa ekspor) atas sumber energi berbasis fosil (Alami, 2017). Pada tahun dipublikasikannya dua literatur akademik tersebut, istilah Covid-19 belum diperkenalkan.

Dalam publikasi berikut, penulis mencoba menarasikan kegelisahan penulis khususnya yang berkenaan dengan sektor energi. Benar bahwa alam semesta dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Namun isu yang diulas dalam narasi ini bukan sekadar fenomena alam yang dapat dinormalkan secara alami dalam waktu singkat. Dibutuhkan campur tangan manusia untuk menormalkannya. Tidak perlu terampil. Untuk memegang andil, kita semua hanya perlu peduli.

Ibarat fenomena gunung es, energi dan mineral dapat diibaratkan sebagai bongkahan besar gunung es yang tidak tampak. Sektor lainnya seperti ekonomi, pendidikan, sosial, dan politik mewakili bongkahan kecil gunung es yang tampak dari permukaan laut. Jika kehidupan ini diibaratkan seperti sebuah film, maka energi adalah aktor dibelakang layar yang memegang peran krusial. Sebelum terlalu jauh berbicara masalah politik, pendidikan, sosial, dan masalah-masalah lainnya, mari kita bicarakan dulu masalah energi dan mineral yang tanpa keduanya, seluruh masalah akan benar-benar menjadi masalah.

Rasio Elektrifikasi Nasional

Oleh penulis, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dipandang telah berhasil membuktikan keseriusasnnya dalam mewujudkan pemerataan sumber daya listrik kepada masyarakat. Hal tersebut dibuktikan melalui prestasi peningkatan rasio elektrifikasi nasional yang saat ini telah menembus angka 99.48%. Artinya, Kementerian ESDM masih ‘berhutang’ 0.52% lagi agar pemerataan distribusi listrik mencapai angka maksimal. Dalam notulen rapat terbatas seperti yang dilansir dari laman Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, angka tersebut mendapat perhatian khusus dari Presiden Republik Indonesia dengan penekanan pada peringkat Indonesia yang masih berada dibawah Malaysia.

Pajokka.my.id - Sumber gambar: setkab.go.id
Sumber gambar: www.setkab.go.id

Total jumlah penduduk Indonesia yang unggul 8 kali lipat lebih banyak dari jumlah penduduk Malaysia (269.600.000:32.366.000), perbandingan luas wilayah kedua negara dimana Indonesia unggul lebih dari 5 kali lipat dari luas wilayah Malaysia (1.905.000;329.847 km kuadrat), serta kontur wilayah Indonesia yang tersusun dari ribuan pulau, membuat Indonesia harus menghadapi tantangan yang berkali-kali lipat lebih berat.

Kinerja Kementerian ESDM dalam peningkatan tingkat elektrifitas nasional yang nyaris menyentuh 100% oleh penulis telah dianggap luar biasa. Meskipun demikian, penulis mendukung penuh penekanan Presiden Indonesia yang terus memicu dan memacu Kementerian ESDM mewujudkan rasio elektrifikasi pada persentase maksimal karena hal ini jelas senada dan seirama dengan tujuan kemerdekaan - seperti yang lantang disuarakan bapak Soekarno dalam Pembukaan Parlemen Indonesia Serikat tahun 1950 silam bahwa “tujuan Indonesia merdeka adalah untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.” Lebih lanjut, dalam laman Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dijelaskan bahwa “negara tidak boleh menunda-nunda atau mempersulit pemenuhan hak warga negara untuk menikmati pelayanan tenaga listrik.”

Hingga tahap ini, kita semua memang pantas berbangga atas pencapaian pemerintah yang dalam hal ini dimotori oleh PT. PLN dibawah komando Kementerian ESDM terkait upaya pemenuhan kebutuhan listrik untuk warga negara. Namun sekali lagi, narasi ini tidak fokus pada pencapaian 99.48% dan tidak pula fokus pada sisa target yang tersisa 0.52%. Ada satu masalah fundamental dan esensial yang mungkin luput dari fokus kita semua; yakni tentang ketersediaan cadangan energi yang semakin hari semakin menipis.

Energi Baru Terbarukan (EBT): Akumulasi Kinerja Kementerian ESDM di Pulau Sulawesi

Dari lima subsektor yang dihadirkan Kementerian ESDM untuk menopang energi bangsa melalui ketenagalistrikan, pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) serta konservasi energi menjadi opsi yang dianggap penulis paling reliabel untuk menyiasati problema keterbatasan cadangan energi saat ini. Jika demikian solusinya, maka pertanyaan yang selanjutnya muncul pasti akan diawali dengan kata tanya “bagaimana”. Dengan modal pencapaian sementara, seperti yang diungkap dalam laman Indonesia.go.id, dimana kontribusi energi baru dan terbarukan di Indonesia telah mencapai angka 13,42% hingga Mei 2019, penulis percaya penuh bahwa Indonesia melalui perpanjangan tangan Kementerian ESDM mampu untuk konsisten dalam mewujudkan pemerataan listrik khususnya dalam pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) atau yang juga dikenal dengan istilah energi hijau. Adapun inovasi dan pembaruan yang telah terlaksana tergambar pada rangkaian paragraf dibawah ini. Berikut ini hasil kinerja Kementerian ESDM di pulau Sulawesi. 

Di provinsi penulis berdomisili, tepatnya di provinsi Sulawesi Selatan, telah terdapat dua kabupaten yang memiliki pembangkit listrik tenaga angin; yakni PLTB Sidrap yang berlokasi di perbatasan Kota Parepare dengan Kabupaten Sidenreng Rappang dan PLTB Tolo di Kabupaten Jeneponto. PLTB Sidrap yang merupakan PLTB perintis di Indonesia ini diperkirakan dapat memasok kebutuhan listrik untuk 70.000 meteran listrik sebesar 900 VA sementara PLTB Tolo yang terletak di Kabupaten Jeneponto, berjarak sekitar 300km dari Kabupaten Sidenreng Rappang, diperkirakan dapat memasok listrik untuk 300.000 pelanggan 900 VA. Sampai disini, tepuk tangan yang meriah harus digemakan atas upaya penghematan cadangan sumber energi yang telah cukup signifikan - setidaknya pada wilayah provinsi Sulawesi Selatan.



Di provinsi Sulawesi Tengah dan provinsi Gorontalo, PLTA Poso dan PLTA Suwawa, Kabupaten Bone Bolango dengan kapasitas 10 MW juga telah direalisasikan pemerintah dibawah komando Kementerian ESDM. Sementara di Mamuju, provinsi Sulawesi Barat, akan menyusul dengan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya-nya (PLTS). Masih dari pulau Sulawesi, pemerintah juga mencanangkan pemaksimalan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) pada wilayah provinsi Sulawesi Tenggara. Keseriusan pemerintah terlihat jelas dari uraian singkat tersebut. 

Toraja Utara dan Tana Toraja: Sebuah Proposal

Masih dari pulau Sulawesi. Kabupaten Toraja Utara dan Kabupaten Tana Toraja yang terletak diarah utara provinsi Sulawesi Selatan yang selama ini hanya terkenal akan potensi pariwisata dengan alam pegunungannya yang indah sebenarnya bisa menjadi tuan rumah untuk satu pembangkit listrik tenaga angin. Dengan kontur dataran yang didominasi pegunungan, penulis berharap agar ikon Sulawesi Selatan ini dapat menjadi tuan rumah untuk beberapa pembangkit listrik tenaga angin.

Seperti kata pepatah, ‘sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Penulis berpandangan bahwa jika pemerintah sudi membangun pembangkit listrik tenaga angin di dua kabupaten yang terkenal dengan rumah adat ‘tongkonan’-nya tersebut, maka selain negara dapat menghemat cadangan energi, potensi pariwisata pada dua kabupaten tersebut juga dapat meningkat yang tentu akan berimbas pada meningkatnya pendapatan daerah.

Energi Untuk Indonesia: Dari Masyarakat Untuk Indonesia

Melakukan memang tidak pernah semudah bernarasi. Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis mencoba meramu solusi sebagai jawaban dari berbagai pertanyaan yang dimulai dengan kata tanya “bagaimana” seperti yang telah disinggung sebelumnya. Berikut dibeberkan beberapa solusi praktis dari penulis yang bisa bersama-sama kita lakukan guna menghindarkan dunia, khususnya Indonesia, dari ancaman krisis energi dan mineral. Upaya-upaya praktis berikut ini, selain berarti membantu pemerintah dalam upaya menjaga stabilitas energi di Indonesia, juga berarti memberikan kehidupan yang layak untuk anak dan cucu kita kelak.

#1 Menggalakkan Riset Mandiri

Mahasiswa adalah kalangan yang mengemban kewajiban melakukan penelitian. Selain itu, dosen serta lembaga-lembaga penelitian lainnya juga tidak lepas dari kewajiban tersebut. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, untuk mendapatkan data terkait banyak variabel yang berkenaan dengan energi dan mineral. Misalnya, data tentang potensi pengeksplorasian energi baru dan terbarukan di daerah tertentu, data tentang hasil eksperimentasi penelitian yang solutif dan produk akhir dari penelitian pengembangan (research and development) yang berpotensi untuk diproduksi massal dan diadopsi/diadaptasi.

Hal tersebut menjadi penting karena karakteristik tiap-tiap wilayah berbeda-beda. Masing-masing area memiliki kekhasan masing-masing sehingga diperlukan sosok-sosok potensial diluar pemerintah, misalnya dari kalangan akademisi, untuk membuka celah melalui keahlian atau expertise mereka.

Berdasarkan data dari sebuah laman (sumber: Quipper Kampus), tercatat tak kurang dari 170 universitas yang menaungi jurusan Teknik Elektro di Indonesia. Dalam satu semester, jika satu kampus mampu menyeminarkan 20 mahasiswa dan mahasiswi yang menjadikan energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai tema sentral penelitian akhir mereka, maka jika 170 universitas melakukan hal yang sama, akan didapatkan 3.400 hasil penelitian yang bisa menjadi bahan pertimbangan. Angka tersebut baru estimasi 20 mahasiswa/mahasiswi dalam 6 bulan atau satu semester saja. Jika dosen elektro yang akan menggarap kewajiban penelitian dan pengabdian kepada masyarakat serta mahasiswa program pascasarjana turut dilibatkan, jumlahnya jelas melejit jauh diatas angka 3.400.

Untuk memaksimalkan ide penulis ini, dibutuhkan sinergi antar-kementerian yang dalam hal ini melibatkan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dalam pelaksanaannya, sosialisasi terkait urgensi penelitian dibawah tema ‘Energi Baru dan Terbarukan’ harus dilakukan oleh para dosen pembimbing melalui arahan dari Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi.

#2 Melibatkan Pelaku Indsutri Kreatif

Narasi ini ditulis dalam rangka mengikuti lomba menulis bertemakan ‘Energi untuk Indonesia’ yang diadakan oleh Kementerian ESDM. Kegiatan ini tentu dimaksudkan setidak-tidaknya untuk menumbuhkan kesadaran serta kepedulian masyarakat terkait isu ancaman krisis energi melalui narasi dan untuk menyebarkan pentingnya isu tentang pemanfaatan ‘Energi Baru dan Terbarukan untuk Indonesia’ kepada kalangan masyarakat. Kegiatan ini jelas manjur dan efektif. Namun, hasil akhir dari even seperti ini - menurut hemat penulis - hanya berorientasi pada teori semata. 

Kedepannya, selain melibatkan jurnalis dan blogger, penulis menaruh harapan besar kepada Kementerian ESDM agar dapat lebih menggemakan dan menggalakkan pengadaan even yang lebih berorientasi pada produk kongkrit, misalnya dengan mengadakan kompetisi desain dan pengembangan produk-produk hemat energi khusus untuk para pelaku industri kreatif. Menurut penulis, even-even seperti itu akan lebih tepat guna mengingat produk-produk hasil karya anak bangsa dapat langsung dilihat dan dirasakan buktinya. Setelah melewati siklus ‘uji, revisi, dan evaluasi’ yang berulang, bukan tidak mungkin produk-produk karya anak bangsa yang dianggap reliabel dan praktis dapat diproduksi dan digunakan secara massal.

Dengan merutinkan pelaksanaan even-even yang lebih berorientasi pada produk, peluang Kementerian ESDM untuk menyerap, mengadopsi, dan mengadaptasi ide-ide unik dari masyarakat terkait pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) tentu akan semakin besar. Dengan begitu, Indonesia diharapkan dapat menjadi percontohan negara-negara lain dalam pemanfaatan energi hijau.

#3 Penggunaan Panel Listrik Tenaga Surya Massal

Listrik benar merupakan kebutuhan primer yang menyokong pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Tanpa listrik, roda perekonomian masyarakat akan terhenti. Tanpa listrik, mobilitas masyarakat juga dapat terhambat. Ironinya, cadangan energi semakin hari semakin berkurang. Realita ini dapat dimanfaatkan sebagai isu penggerak agar masyarakat dapat segera beralih kepada teknologi ramah lingkungan yang hemat energi.

Masyarakat dapat mewujudkan kepedulian mereka terhadap energi dengan menggunakan panel listrik tenaga surya sebagai penyuplai energi listrik untuk kebutuhan rumahan. Berdasarkan riset pustaka yang dilakukan penulis, rentang biaya total instalasi sebuah panel listrik tenaga surya berada dibawah harga sebuah sepeda motor bebek.

Ironi kemacetan yang melanda kota-kota besar di Indonesia merupakan sebuah bukti bahwa kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia telah siap untuk sebuah perubahan besar. Jika sepeda motor bukan lagi merupakan barang mewah bagi mayoritas masyarakat Indonesia, maka tentu demikian halnya dengan panel surya yang rentang harga instalasinya berada dibawah sepeda motor. Untuk memuluskan rencana ini, peran pemerintah untuk menyosialisasikan, memberi subsidi serta kompensasi bagi masyarakat yang akan beralih ke panel surya tentu akan sangat berpengaruh. Hal serupa juga perlu diberlakukan untuk perusahaan dan industri yang merupakan pelaku pemakaian energi skala besar.

Oleh penulis, isu penggunaan panel listrik tenaga surya oleh perusahaan dan industri hingga oleh kalangan sipil dipandang perlu diangkat ke permukaan - senada dan seirama dengan apa yang tersurat dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 17/2013 tentang pembangkit listrik tenaga surya fotovoltaik (PLTSF). Jika saja hal ini bisa dijadikan sebagai isu yang urgen, maka negara dapat menghemat cadangan energi yang ada. Dengan begitu, Indonesia bisa menjadi model dan percontohan negara-negara di dunia dalam hal penghematan cadangan energi.

#4 Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE)

Jika pemasangan panel surya memberatkan secara finansial, pemakaian lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE) adalah opsi solutif. Hal ini telah disosialisasikan pada beberapa wilayah dan telah direalisasikan oleh Kementerian ESDM pada beberapa daerah terpencil, terdepan, dan tertinggal. Kedepannya, pemerintah melalui Kementerian ESDM diharapkan dapat lebih garang menyosialisasikan penggunaan lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE) ini hingga ke kalangan masyarakat agar ketersediaan energi untuk Indonesia dapat lebih terjamin dengan pertimbangan bahwa Indonesia merupakan negara tropis.

Lampu Penerangan Jalan Berbasis Panel Surya
Lampu Penerangan Jalan Berbasis Panel Surya

Dilansir dari sebuah jurnal yang terpublikasi pada 2011 lalu, dijelaskan bahwa potensi energi matahari di Indonesia dapat mencapai 5 kWh/m kuadrat/hari (Rumbayan, 2012). Jika angka tersebut konsisten, maka tak kurang dari 150 kWh/m kuadrat/hari bisa digunakan. Potensi pemanfaatan panel surya sebagai energi alternatif di Indonesia juga didukung oleh data dari World Bank yang dirilis pada tahun 2017. Meskipun publikasi tersebut menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah, yakni hanya sebesar 3.4 hingga 4.4 kWh/meter kuadrat/hari, namun hal tersebut tidak boleh membuat Indonesia pesimis terhadap pemanfaatan potensi energi surya sebagai energi alternatif.

#5 Mengurangi Penggunaan Kendaraan Pelat Hitam

Dewasa ini, terlihat bagaimana hukum alam masih tetap eksis. Dalam kurun satu dekade terakhir, dapat kita lihat bagaimana pola pemakaian transportasi umum kini telah berubah dari pola konvensional kepada yang berbasis internet. Dari sektor lainnya, pola pemakaian energi juga harus segera bertransformasi. Seribu satu alasan dapat disebutkan untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa’ yang timbul. Poin ini adalah cara yang paling sederhana yang dapat kita lakukan untuk sebuah perubahan besar.

Masyarakat yang awam dapat menunjukkan kontribusi nyata mereka terhadap perbaikan energi dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya dengan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Bertahun-tahun silam, isu tersebut telah nyaring digaungkan. Jika dahulu narasi yang diangkat hanya berkenaan dengan pengikisan lapisan ozon yang berdampak pada perubahan cuaca, kini isu tersebut harus ditambah dengan isu keterbatasan cadangan energi dan perlunya energi baru dan terbarukan.

Penting bagi kita semua untuk mulai mengubah pola berpikir konvensional dan menggantinya dengan pola pikir modern. Pemakaian kendaraan pelat hitam, selain tidak baik untuk lapisan ozon juga dapat mengurangi cadangan energi.

Beruntung dewasa ini telah banyak komunitas sepeda yang menampakkan eksistensi di permukaan. Pemakaian sepeda yang telah mulai menjadi gaya hidup wajib diapresiasi pemerintah. Sebagai imbalannya, masyarakat dapat berperan secara proaktif dalam mengurangi konsumsi cadangan energi yang sekaligus memperbaiki kualitas udara di bumi. Meskipun demikian, pemerintah dipandang masih perlu untuk memaksimalkan gaya hidup positif ini. Misalnya dengan menyediakan lajur khusus pesepeda, memfasilitasi area parkir untuk para sepeda pada titik-titik keramaian, serta menjamin keamanan sepeda yang ditinggal pemiliknya.

Kesimpulan

Dengan mempertimbangkan poin-poin yang telah penulis uraikan diatas, diharapkan agar narasi ini dapat menjadi pemicu segenap masyarakat Indonesia, khususnya pembaca artikel ini, untuk berpikir jauh kedepan dengan cara mencurahkan sedikit perhatian kepada keadaan energi dan mineral saat ini dengan prinsip dasar bahwa ‘jika kita belum mampu berkontribusi aktif, setidaknya kita sadari dulu isu sentralnya - bahwa semakin hari cadangan energi semakin berkurang’.

Dengan menimbang bahwa cadangan minyak bumi dan gas serta mineral dan batubara semakin hari semakin menipis, dari lima sub-sektor yang dihadirkan Kementerian ESDM untuk menunjang sektor ketenagalistrikan - minyak dan gas; mineral dan batubara; energi baru terbarukan dan konservasi energi; dan kegeologian; energi baru dan terbarukan serta konservasi energi telah masuk kategori wajib untuk kita maksimalkan. Penulis percaya bahwa Indonesia tidak kekurangan orang pintar dan cerdas sehingga ide tersebut tentu menjadi tidak mustahil untuk dilakukan.

Semua tahu bahwa bumi ini bukan hanya milik kita yang hidup sekarang ini. Mengingat apa yang telah dan sedang kita nikmati saat ini tak lepas dari warisan para pendahulu kita semua, maka kita semua berkewajiban untuk meneruskan warisan serupa untuk anak dan cucu kita kelak. Rasanya sangat tidak adil jika para penerus kita nantinya harus hidup dibawah kepayahan dalam masalah energi yang hanya kita sisakan sedikit untuk mereka.

Memanfaatkan seluruh sumber daya yang ada, baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia, adalah kewajiban yang bersifat absolut - poin yang tidak bisa ditawar lagi. Pelibatan kalangan akademisi, para pelaku industri kreatif, hingga masyarakat dalam upaya menemukan ide-ide baru dan unik yang sesuai dengan keadaan dan tantangan wilayah Indonesia yang variatif diusulkan penulis untuk dilakukan sesegera mungkin. Selain itu, pelaku industri serta masyarakat sebagai konsumen juga wajib didorong untuk berperan proaktif dalam pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) yang saat ini telah memungkinkan untuk dimanfaatkan - misalnya penggunaan tenaga listrik panel surya atau alat eletronik hemat energi - sembari secara paralel melaksanakan agenda pengeksplorasian sumber-sumber energi baru.